“Ponimen ora entuk liwat…” Demikian bunyi tulisan pada plakat kayu di ruas jalan di Pengen RT 8/RW VII, Guworejo, Karangmalang. Bukan tanpa alasan warga memasang plakat itu. Larangan yang dipasang warga dua pekan lalu merupakan peringatan bagi seorang warga desa setempat, Ponimin, 48, agar mau bergabung dengan warga untuk kerja bakti.
“Lha wong kerja bakti saja tidak mau, ya sudah pas jika warga melarang dia lewat jalan ini,” ujar Ketua RT 8/RW VII, Dukuh Pengen, Suranto saat ditemui di sela-sela kerja bakti mengecor jalan, Minggu (27/2).
Tentu larangan itu tidak mutlak, dalam praktiknya, kata dia, Ponimin bisa lewat jalan ini. Dia menegaskan larangan itu sebagai upaya penyadaran bagi Ponimin.
Warga belakangan memang getol memperbaiki jalan desa. Jalan sepanjang 200 meter di perbatasan Desa Guworejo dan Puro, Karangmalang dahulu rusak parah.
Lalu lintas truk bermuatan material pasir dan batu proyek jembatan perbatasan desa menjadi penyebab utama kerusakan jalan itu.
Dan apa lacur, jembatan yang dibangun dengan alokasi anggaran Pemerintah Provinsi Jateng tahun 2009-2010 pun mangkrak.
Jembatan yang terletak di Dukuh Mengklung, Puro tidak bisa menjadi jalan alternatif warga karena ketiadaan akses jalan tambahan di sisi selatan jembatan.
Rehab jalan PNPM tahun lalu hanya menyelesaikan separuh jalan rusak yang menghubungkan Dukuh Mengklung dengan Jalan Raya Sragen-Kedawung. Sedangkan sisa jalan rusak sepanjang 200 meter baru dikerjakan dengan program yang sama tahun 2011.
Warga lantas bergotong-royong memperbaiki dengan betonisasi. Kebutuhan material dibebankan pada setiap kelompok warga dengan menyumbang pasir dan kerikil senilai Rp 100.000.
Lantas apa kata Ponimin? Dia mengaku sengaja tidak ikut kerja bakti sebagai wujud protes terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi. Dia mengatakan kewajiban untuk memberi bantuan pasir dan batu senilai Rp 20.000/orang sudah dipenuhi.
Ponimin menerangkan perbaikan jalan rusak itu menjadi tanggung jawab pelaksana proyek jembatan, bukan tanggung jawab warga. “Bantuan 100 sak semen dari DPU Sragen semula untuk lingkungan Dukuh Pengen, Guworejo. Mengapa bantuan itu dialihkan untuk perbaikan jalan sepanjang 200 meter itu? Anehnya, warga tidak protes dan malah mendukungnya,” ujar Ponimin.
Ponimin mengaku merasa dicemarkan nama baiknya atas pemasangan plakat larangan itu. Sebagai warga negara memiliki hak untuk melewati jalan umum. “Bila tidak ada upaya klarifikasi dari pihak terkait maka saya akan menempuh jalur hukum,” paparnya.
“Lha wong kerja bakti saja tidak mau, ya sudah pas jika warga melarang dia lewat jalan ini,” ujar Ketua RT 8/RW VII, Dukuh Pengen, Suranto saat ditemui di sela-sela kerja bakti mengecor jalan, Minggu (27/2).
Tentu larangan itu tidak mutlak, dalam praktiknya, kata dia, Ponimin bisa lewat jalan ini. Dia menegaskan larangan itu sebagai upaya penyadaran bagi Ponimin.
Warga belakangan memang getol memperbaiki jalan desa. Jalan sepanjang 200 meter di perbatasan Desa Guworejo dan Puro, Karangmalang dahulu rusak parah.
Lalu lintas truk bermuatan material pasir dan batu proyek jembatan perbatasan desa menjadi penyebab utama kerusakan jalan itu.
Dan apa lacur, jembatan yang dibangun dengan alokasi anggaran Pemerintah Provinsi Jateng tahun 2009-2010 pun mangkrak.
Jembatan yang terletak di Dukuh Mengklung, Puro tidak bisa menjadi jalan alternatif warga karena ketiadaan akses jalan tambahan di sisi selatan jembatan.
Rehab jalan PNPM tahun lalu hanya menyelesaikan separuh jalan rusak yang menghubungkan Dukuh Mengklung dengan Jalan Raya Sragen-Kedawung. Sedangkan sisa jalan rusak sepanjang 200 meter baru dikerjakan dengan program yang sama tahun 2011.
Warga lantas bergotong-royong memperbaiki dengan betonisasi. Kebutuhan material dibebankan pada setiap kelompok warga dengan menyumbang pasir dan kerikil senilai Rp 100.000.
Lantas apa kata Ponimin? Dia mengaku sengaja tidak ikut kerja bakti sebagai wujud protes terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi. Dia mengatakan kewajiban untuk memberi bantuan pasir dan batu senilai Rp 20.000/orang sudah dipenuhi.
Ponimin menerangkan perbaikan jalan rusak itu menjadi tanggung jawab pelaksana proyek jembatan, bukan tanggung jawab warga. “Bantuan 100 sak semen dari DPU Sragen semula untuk lingkungan Dukuh Pengen, Guworejo. Mengapa bantuan itu dialihkan untuk perbaikan jalan sepanjang 200 meter itu? Anehnya, warga tidak protes dan malah mendukungnya,” ujar Ponimin.
Ponimin mengaku merasa dicemarkan nama baiknya atas pemasangan plakat larangan itu. Sebagai warga negara memiliki hak untuk melewati jalan umum. “Bila tidak ada upaya klarifikasi dari pihak terkait maka saya akan menempuh jalur hukum,” paparnya.
Source : solopos
0 comments:
Posting Komentar